Esensi Sidang Sinode GKI dan Kemandirian Orang Papua Setelah 100 Tahun Masuknya Injil

Refleksi Sejarah Sidang Sinode GKI dari Sudut Pandang Pengabdian I.S.Kijne

Perang Dunia II menyisakan banyak kerusakan dan penderitaan namun, bagi masyarakat Papua, Perang Dunia II membawa sebuah berkat besar termasuk didalamnya lahirlah Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua yang dimulai dengan pra sidang Sinode di Serui dan Sidang Sinode pertama di Jayapura dan menjadi hari lahirnya GKI Di Tanah Papua.
Injil telah masuk di Tanah Papua melalui Mansinam yang dibawa oleh dua utusan Zending Ottow dan Geissler tahun 1855, namun hingga tahun 1955, selama 1 abad lamanya seluruh pelayanan pekabaran Injil Di Tanah Papua masih diatur dan dilaksanakan oleh Zending Belanda, belum ada Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua.
Sejarah penginjilan di Tanah Papua sejak Ottow dan Geissler, Van Haselt Senior dan Yunior, hingga hadirnya I.S. Kijne untuk memulai misi pendidikan di Miei tahun 1925 hingga tahun 1942 sebelum meletus Perang Dunia II ( PD II ), terjadi pasang surut pekerjaan penginjilan, medan berat dan penyakit serta watak orang Papua yang keras menjadi ancaman mundur dan ditutupnya misi penginjilan di Papua.
Hadirnya Domine Izak Samuel Kijne yang memulai misi pendidikan membawa perubahan yang sangat pesat di fase pertama 1923-1942 di Miei, dan fase kedua setelah PD II tahun 1945. Kijne dalam bukunya Alasan Jang Hidup menggambarkan pekerjaan penginjilan di Tanah Papua tidak bisa bergantung kepada Eropa ( Zending ). Selain keterbatasan utusan yang bekerja di Tanah Papua, krisis ekonomi juga telah melanda Eropa sebagai sebuh gejala muncul PD II.
Menurut Kijne, jika orang Papua hanya bergantung pada Zending Belanda, orang Papua tidak bisa akan maju dan pekerjaan penginjilan di Tanah Papua tidak berkembang, Injil hanya bisa dipahami dari sisi orang Eropa, dan orang Papua tidak akan pernah mengerti dan menjadi pelayan Injil itu sendiri.
Setelah mendirikan sekolah dan telah menghasilkan banyak didikan di Miei sejak tahun 1925, ketika melakukan cuti ke Malang tahun 1942, Kijne dan Istrinya ditangkap dan diasingkan ke Sumatera Utara. Pendidikan di Miei, dikhususkan Kijne hanya untuk siswa-siswa asli Papua dengan alasan khusus, salah satu diantaranya adalah F.J.S.Rumainum yang kemudian menjadi Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua pertama.
Perang Dunia II yang menyisakan kerusakan dimana-mana, termasuk asset gereja dan sekolah di Papua, memberi ruang dan wewenang yang sangat besar kepada I.S.Kijne oleh Ratu Juliana untuk menata kembali persekolahan dan penginjilan di Tanah Papua dengan mendasari permintaan pelajar dan pemuda Papua yang ingin maju sama seperti tentara-tentara Sekutu Kulit Hitam yang beroperasi di Papua waktu itu.
Membangun kembali sisa-sisa reruntuhan PD II dan melanjutkan misi pendidikan untuk menjawab keinginan pelajar dan pemuda Papua untuk maju sama seperti Tentara Sekutu Kulit Hitam, Kijne menutup sekolah di Miei dan membuka Yoka Institut serta lembaga pendidikan lainnya dan menjadikan Jayapura sebagai pusat pengendalian seluruh kegiatan pendidikan dan penginjilan dimana Kijne menjadi Ketua Zending pada waktu itu.
Melihat pendidikan di Jayapura telah berjalan dengan baik, I.Z.Kijne melepaskan jabatan Ketua Zending yang kemudian dijabat oleh DR.F.C.Kamma, Kijne berangkat ke Serui tahun 1955….. untuk mempersiapkan Sekolah Guru Jemaat dan Cikal Bakal Sekolah Tinggi Theologia serta mempersiapkan Tata Gereja GKI Di Tanah Papua.
Dibawa pimpinan Kijne sebagai Ketua Zending 1948-1954, telah dilaksanakan konferensi-konferensi Zending yang membahas persiapan berdirinya Gereja Milik Orang Papua yang mandiri untuk melayani dirinya sendiri termasuk membahas Tata Gereja GKI Di Tanah Papua, hingga pada tanggal 14-23 September 1954, dilakukanlah sebuah Pra Sidang Sinode atau dikenal dengan sebutan Proto Sinode di Serui.
Dari berbagai referensi, pendidikan formal umum yang dimulai dari Joka Institut dan berkembang ke jurusan-jurusan lain, dilihat oleh Kijne mengalami kemajuan sehingga dia mempersiapkan sekolah guru jemaat dan pendeta di Serui untuk mempersiapkan tenaga-tenaga pelayan gereja sebagai pemimpin jemaat dan masyarakat, kelak ketika GKI Di Tanah Papua sudah mandiri.
Dalam mempersiapkan GKI Di Tanah Papua, banyak muncul pertanyaan apakah Orang Papua mampu mengelola dan membiayai gerejanya secara mandiri ? pertanyaan inilah yang kemudian dijawab oleh Kijne dengan meninggalkan Joka dan menetap di Serui untuk mendirikan sekolah guru jemaat dan pendeta untuk memproduksi pelayan yang hingga kini menjadi STT GKI Kijne. Dalam misi ini, Kijne harus rela kehilangan seorang anak laki-laki bernama Hugo yang dimakamkan di Serui.
Selain mempersiapkan Sekolah Guru dan Pendeta, di Serui, Kijne juga mempersiapkan Tata Gereja GKI, mungkin dengan alasan inilah maka Proto Sinode dilaksanakan di Serui tahun 1954. Tata Gereja GKI Di Tanah Papua yang disusun Kijne di Serui kemudian menjadi Tata Gereja GKI Di Tanah Papua yang disahkan di Sidang Sinode GKI Di Tanah Papua Pertama di Jayapura 26 Oktober 1956.
Berdirinya GKI Di Tanah Papua sebagai Gereja Mandiri 26 Oktober 1956 ketika itu Ketua Zending dipimpin oleh DR.F.C.Kamma, namun proses berdirinya GKI Di Tanah Papua merupakan sebuah karya besar Kijne setelah Perang Dunia II, selain menyiapkan Tata Gereja, Nyanyian Rohani dan Mazmur, Suara Gembira untuk sekolah minggu dan Sekolah Tinggi Theologia.

Dari Mendengar, Hidup Bersama hingga Berbuat Untuk Tanah Papua

Kijne sejak sekolah, mendengar cerita Papua dari temannya Van Haselt Junior, ketertarikannya tentang Papua yang disebut sebuah tempat orang kulit hitam di Timur Jauh Pasific telah mengantarkannya tiba di Mansinam 1923. Mempelajari karakter orang Papua melalui siswa di Mansinam yang kemudian dilanjutkan dengan sekolah khusus Papua di Miei telah menjadikan Kijne sangat paham dengan karakter dan jiwa orang Papua.
Berbakti sejak masih bujang hingga meminang mama Jopie dan hidup bersama dengan siswa-siswa Papua di Bukit Aitumeri sejak tahun 1925 hingga 1942 membuat Kijne semakin cinta terhadap Papua. Tantangan krisis ekonomi di Eropa dan enggannya pekerja Zending melayani di Papua dan Perang Dunia II yang memporakporandakan fasilitas pendidikan dan gereja serta keinginan orang Papua untuk maju telah mendorong Kijne melakukan kebangkitan baru Papua melalui pendidikan dan Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua.
Nyanyian Rohani dan Mazmur menjadi nyanyian rohani satu-satunya yang dimiliki di Hindia Belanda ( Indonesia yang dipergunakan di hamper sebagian besar gereja-gereja di seluruh Indonesia pada waktu lampau sebelum GPIB melahirkan Kidung Jemaat dan HKBP melahirkan nyanyian-nyanyiannya. Kijne telah memabangun Orang Papua melampaui batas kemanusiaan, Orang Papua yang dulu gelap menjadi terdepan dengan peradaban tinggi.

Sidang Sinode GKI XVII Di Raja Ampat

Berangkat dari sejarah berdirinya GKI Di Tanah Papua yang dirintis ketika Domine Izak Samuel Kijne menjadi Ketua Zending 1948-1955, yang dimulai dari konferensi-konferensi Zending di Biak dan Joka, serta Proto Sinode Serui 1954, kiranya Sidang Sinode GKI XVII masih dapat menangkap roh Sidang Sinode dan berdirinya GKI Di Tanah Papua yang dirintis oleh Kijne atas dasar fakta masa lampau dimana Orang Papua ingin maju dan mandiri.
Sidang Sinode bukan hanya sekedar pesta iman untuk berkumpul dan bersuka cita, namun Sidang Sinode sebagaimana cita-cita awal Orang Papua mandiri dan Maju melalui Gereja Kristen Injili Di Tanah dapat terwujud melalui proses demokrasi dalam merumuskan pikiran-pikiran demi kemajuan manusia dan Tanah Papua.
Diharapkan pergumulan jemaat dan masyarakat Papua pada umumnya dapat digumuli didalam Sidang Sinode yang akan berlangsung dari tanggal 11-17 Maret 2017, dan membawa kemajuan berorganisasi, kemajuan berjemaat dan lebih dari itu, membawa umat kristiani dan masyarakat Papua pada umumnya untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih maju dan menjadi Terang bagi Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan.
Sejak 1855, satu abad kemudian barulah GKI Di Tanah Papua dapat mandiri menjadi Gereja yang mandiri, setelah berdiri tahun 1956 di Jayapura, kini di usia yang ke 60 tahun, setengah abad lebih lamanya Raja Ampat menjadi tuan rumah Sidang Sinode, refleksi satu abad dan enam puluh tahun kiranya menjadi sebuah evaluasi mendasar untuk bersidang dalam rangka menghadirkan “Kerajaan Allah” sebagaimana Thema Sidang “ Datanglah Kerajaan Mu ( Matius 6 :10 ).

( Joris Omkarsba, anak guru jemaat di Waisai Raja Ampat )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menakar Figur Pilkada Biak Numfor Tahun 2018

Mayjen TNI Joppye Onesimus Wayangkau