Pandangan GKI di Tanah Papua Terhadap HUT PI Ke – 162 Tahun
Awal
yang Penuh Tantangan, Pemberitaan Injil Terus Berlanjut
Awal
yang sulit dan penuh tantangan, hal ini
menggambarkan kondisi awal dari pekabaran injil di tanah Papua ketika itu,
setelah pada tangal 5 Februari 1855 pukul 06.00 pagi (sekarang WIT,red), kedua
rasul Tuhan, Carl Willem Ottow dan rekannya Johann G Geissler menginjakan kaki
di Pulau Mansinam, dengan doa sulung, In Gotte Namen Bettraten Wir Das Land
(Dengan Nama Tuhan Kami Menginjak Kami Menginjak Tanah Ini,red).
Melalui
doa suluh ini, menjadi sebuah era baru dimana selalu diingat dimana terang
kasih Tuhan mulai terpancar di tanah Papua, kedua rasul ini bekerja tanpa lelah
untuk mewartakan injil di tanah yang dijanjikan Tuhan, bagaimana tidak untuk
meyakinkan masyarakat Mnukwar (Manokwari,red) yang saat itu masih hidup dalam
kegelapan dan kerja keras tersebut membuahkan hasil beberapa tahun kedepan
yakni pada 1 Januari 1868 dua orang wanita yakni Sara dan Margaretha menjadi
orang Papua yang pertama kali di Baptis oleh Geissler.
Momen
tersebut, hingga kini menjadi sebuah bekal dimana pekabaran injil mulai
berkembang pesat setelah integrasi Papua
kedalam Negara Kesatuan Indonesia (NKRI),hal ini membuat para zendeling yan
menjalankan tugas di Papua mulai berpikir untuk menyerahkan tongkat estafet
kepada orang Papua untuk terus mewartakan cinta kasih Allah melalui injil di
tanah Papua.
Beberapa
dekade kemudian atau tepat 26 Oktober tahun 1956, lahirlah Gereja Kristen
Injili di Tanah Papua sebagai hasil dari pekabaran injil yang dimulai dari
Ottow dan Geisler Sejak awal berdirinya, GKI di Tanah Papua adalah suatu gereja
yang bersifat oikumenis, dan bukan gereja suku. Oleh karena itu,
anggota-anggota jemaat GKI berasal dari orang Papua sendiri dan orang-orang
bukan Papua dari berbagai suku dan bangsa serta dari berbagai latarbelakang
keanggotaan gereja.
Kehadiran
dan keberadaan GKI di Tanah Papua adalah kehendak Tuhan untuk menghadirkan
tanda-tanda Kerajaan Allah yang nyata di tengah keterbelakangan, keterasingan,
kebodohan dan kemiskinan. Oleh pemberitaan Injil peradaban baru Papua dimulai
dan terus berlangsung sampai sekarang ini.
Pemberitaan
injil terus dikumandang oleh GKI di Tanah Papua, walaupun disisi lain ada
beberapa denominasi gereja yang juga mewartakan tentang injil, ada hal penting
yang menjadi perhatian semua pihak dengan kesusahan namun berlandaskan
kepercayaan kepada Tuhan Yesus Kristus, Carl Willem Ottow dan Johnn.G Geissler
mampu mengembangkan amanat mulia ditengah kondisi kegelapan, seiring dengan
perkembangan zaman yang modern, tentunya dengan tingkat aksesibilitas mudah
terjangkau, namun kondisi pekabaran injil seakan menjadi pudar.
Hal
ini menjadi catatan penting bagi GKI di tanah Papua, untuk terus mendorong
pekabaran injil di bumi Cenderawasih, namun sejatinya injil tidak terpengaruh
dengan perkembangan zaman mengingat injil merupakan anugerah dari Allah yang
selalu hidup.
“Injil
ini tidak terpengaruh dengan perkembangan zaman, Injil itu kan anugerah dari
Tuhan, jika zaman berakhir pun injil tetap kekal, menghadapi era globalisasi,
gereja harus menjelaskan tentang dasar-dasar injil sehingga umat harus tetap
hidup sebagaimana mereka terima injil,”ungkap Ketua BP Am Sinode GKI di Tanah
Papua, Pdt Alberth Yoku,STh kepada
Cenderawasih Pos,kemarin.
Albert
Yoku menjelaskan bahwa di usia ke 162 tahun, gereja harus memegang peranan
penting dalam pekabaran injil di tanah Papua, dimana harus ada komitmen untuk
memberitakan injil di Papua.
“Kita harus ada komitmen untuk memberitakan injil
supaya semua orang mengakui Yesus sebagai Tuhan yang hidup dan memberikan nafas
kehidupan kepada manusia,”ujarnya.
Menyoal
kehadiran denominasi gereja yang turut hadir dalam menopang pekabaran injil di
tanah Papua, Albert Yoku mengharapkan agar kehadiran denominasi gereja ini
benar-benar menginjili umat tidak hanya sekedar mencari nama atau mencari hal
lainnya, mengingat kerja di tanah Papua, harus bekerja dengan jujur.
“Mereka
ini harus benar-bebar menginjili masyarakat, mereka betul-betul menginjili dia
harus mencari orang benar-benar belum menerima injil dan menginjili orang
tersebut, jangan mengambil oang yang sudah menerima injil dan apalagi hanya
menjadikan injil untuk mencari keuntungan dan bisnis,”ujarnya.
Albert
Yoku menambahkan bahwa untuk menjadikan Papua tanah Damai, perlu sinergitas
bersama antara kelompok agama.”Misalnya kita bersama-sama mencegah potensi
konflik, kita mencoba untuk melarang berbagai bentuk perilaku manusia yang
berpotensi menganggu keamanan seperti radikalisme dan berbagai bentuk lainnya,”tambahnya.
Komentar
Posting Komentar